Kisah Richarlison, Penjual Es Krim yang Jadi Bintang Premier League
beritaterkini99- Usianya baru menginjak 21 tahun. Namun bakatnya mengolah si kulit bundar telah mengangkat Richarlison de Andrade dari jurang kemiskinan menuju pentas sepak paling elite di dunia, yakni Liga Inggris.
Richarlison merupakan kisah besar yang tersembunyi di balik megahnya Liga Inggris musim ini. Pemain yang mengawali karier dari klub America Mineiro itu adalah amunisi termahal Everton. Dia diboyong dari Watford pada Juli lalu dengan nilai mahar 45 juta euro.
Pilihan Everton tidak salah. Richarlison yang berposisi sebagai pemain depan langsung menggebrak di awal musim. Dia tidak pernah absen mencetak gol pada tiga pertandingan pertama The Toffees—julukan Everton, di Liga Inggris. Richarlison juga dipanggil memperkuat Timnas Brasil saat beruji coba melawan Amerika Serikat belum lama ini.
Dalam duel ini, dia tampil selama 15 menit. Dia kembali tampil saat Brasil melumat El Savador 5-0 dan mencetak dua gol.Kepada AS, Richarlison, mengaku seperti hidup di alam mimpi. “Bermain di Premier League merupakan mimpiku sejak kecil. Dan saya masih harus membiasakan diri melihat namaku tercetak di papan skor,” ujarnya kepada AS.
Lompatan karier Richarlison memang terbilang fantastis. Sebab hanya butuh waktu dua tahun bagi dia untuk melangkah dari tim divisi II Brasil menuju Liga Inggris.
Namun semua itu tidak didapatnya dengan mudah. Sebaliknya, jalan yang harus ditempuh pria kelahiran Nova Venécia, 10 Mei 1997 tersebut terjal dan berliku.
Richarlison berasal dari keluarga tidak mampu. Demi mimpi menjadi pesepak bola profesional, dia bahkan harus tinggal di rumah pamannya yang kebetulan dekat dengan lokasi latihan. “Saya tidak punya uang untuk ongkos bus,” katanya.
“Saya terpaksa harus menjual permen dan es krim di jalanan dan bekerja di lapangan untuk membantu kedua orang tua. Saya melakukan itu sebab semua orang melakukan apapun agar mereka bisa mewujudkan mimpi menjadi pesepak bola,” kata Richarlison.
Nyaris Pulang Jalan
Penderitaan Richarlison tidak berhenti di situ saja. Meski sudah berlatih keras, dia tidak serta merta mampu mencuri perhatian klub-klub incarannya. Akibatnya, dia nyaris putus asa.
“Jari tangan saya tidak cukup menghitung penolakan yang pernah saya terima,” katanya.
“Saya bertahan dan menggunakan sisa uang saya untuk menjalani trial sekali lagi di klub America yang berada di MG Belo Horizonte. Itu adalah uang terakhir saya, dan tidak punya ongkos pulang lagi. Padahal jarak ke rumah di Espíritu Santo, 600 km,” ujarnya.
Richarlison pun memberikan kemampuan terbaiknya saat menjalani trial dan diterima.
“Saya telah belajar, bahwa Anda butuh kesabaran, ketekunan, dan keyakinan pada orang-orang untuk mengejar apa yang menjadi cita-citamu selama ini,” bebernya.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bakat bermain sepak bola Richarlison juga menular dari ayah dan pamannya, yang juga pesepak bola. Keduanya bermain di liga lokal.
Menurut Richarlison, kemampuan ayah dan pamannya sangat baik. “Ayahku merupakan pengumpan, dan paman seorang striker handal. Saya belajar banyak dari mereka di dalam maupun luar lapangan. Mereka berdua adalah idolaku,” kata Richarlison.